Selasa, 13 November 2012

AGAMA HINDU: SEJARAH DAN PERIODISASINYA


SEJARAH AGAMA HINDU
Asal Usul Nama Hindu Dan Sejarah India Kuno
India adalah negeri yang serba ganda, ganda dalam suku bangsa, ganda dalam budaya, dan ganda dalam soal kepercayaan. Oleh sebab itu, mempelajari agama Hindu terasa mengalami kesulitan. Jika kita lihat dari sudut pandang ilmu bangsa-bangsa, India adalah tanah yang beraneka ragam dan akibatnya ialah orang dapat melihat suatu kebudayaan yang beraneka ragam. Jika kita ibaratkan, agama Hindu itu seperti pohon besar yang memiliki cabang yang sangat banyak yang melambangkan berbagai pemikiran keagamaan.

Asal Usul Agama Hindu
Agama Hindu adalah agama yang tertua di dunia. Agama ini telah melewati perjalanan sangat panjang yang bermula dari abad ke 15 SM hingga sekarang. Di India, agama Hindu sering disebut dengan nama Sanatana Dharma yang berarti agama yang kekal, atau Waidika Dharma, yang berarti agama yang berdasarkan kitab suci Weda. Tidak banyak yang tahu soal asal mula agama Hindu. Hal ini karena sejarah agama tersebut telah ada sebelum masa penulisan sejarah berkembang. Agama Hindu diyakini terbentuk dari beberapa keyakinan yaitu, keyakinan bangsa Arya dan keyakinan bangsa Dravida. Agama ini tidak seperti agama-agama lain, dalam agama Hindu tidak dapat diketahui secara pasti siapa pembawa pertama ajaran-ajarannya. Ini merupakan salah satu kesulitan dalam mempelajari agama Hindu.
Nama Hindu yang sekarang lazim dikenal dan telah dipergunakan secara umum di seluruh dunia, merupakan nama asing karena nama itu diberikan oleh orang yang bukan Hindu. Nama India dijelaskan dari nama sungai Sindbu, yang mengairi daerah barat India. Bangsa Persia menyebut sungai itu sungai Hindu. Kemudian nama ini diambil alih oleh orang Yunani, sehingga nama itulah yang terkenal di dunia barat.

Sejarah India Kuno
India kuno dipisahkan dari bagian-bagian Asia yang lain oleh bukit-bukit yang tinggi dan terjal yaitu, dibagian barat oleh tanah Pegunungan Hindu Kush, di bagian utara oleh bukit-bukit Pegunungan Himalaya dan di sebelah timur oleh  tanah pegunungan yang memisahkan India dari Birma.
Pegunungan Windhya yang membujur dari barat ke timur membagi India menjadi dua bagian, yaitu: India Utara dan India Selatan.
India Utara memiliki dua lembah sungai yang luas dan subur, tempat kekayaan yang melimpah-limpah dan tempat kerajaan-kerajaan besar berkembang, yaitu lembah sungai Indus atau Sindhu di sebelah barat, dan lembah lembah sungai Gangga di tengah dan timur. Kedua lembah ini lembah ini dipisahkan oleh  Padang Pasir Thar atau Rajasthan dan dataran tinggi Kuruksetra, yang pada zaman kuno merupakan medan pertempuran bangsa-bangsa yang ingin atau mempertahankan India.
India selatan terdiri dari tanah pegunungan Windhya di sebelah utara dan lembah pantai di sebelah timur, selatan dan barat, sedangkan di tengah-tengah terdapat suatu dataran tinggi Dekhan, yang sukar sekali dimasuki. Sebagian besar dataran Dekhan adalah kering di sebalah barat maupun timur dataran ini dibatasi oleh jajaran bukit-bukit, demikian juga di sebelah timur. Pegunungan di sebelah barat lebih tinggi dari pada sebelah timur, sehingga banyak sungai yang mengalir ke timur. Hanya ada dua sungai yang mengalir ke barat. Daerah pantai merupakan daerah yang luas dan subur dengan banyak Kota dagangnya. Bangsa India sekarang ini adalah bangsa campuran. Diantara bangsa-bangsa yang memasuki India mempunyai pengaruh besar sekali atas bangsa India adalah bangsa Dravida dan bangsa Arya.
Bangsa Dravida tersebar di seluruh India. Tetapi di India utara mereka kemudian di desak oleh bangsa Arya yang memasuki India kira-kira tahun 1500 sebelum Masehi. Namun hal ini tidak berarti bahwa mereka dilenyapkan dari India utara. Mereka bercampur dengan bangsa Arya itu.
Bangsa Arya termasuk bangsa Indo-Jerman. Dari mana mereka berasal tidak dapat diketahui dengan pasti ada kemungkinan mereka berasal dari Asia Tengah dan mereka ingin mencari tanah-tanah yang lebih subur sehingga pada zaman kuno itu mereka menyebar kemana-mana. Ada yang memasuki Eropa utara ada juga yang memasuki tanah Balkan, lalu menyebrang ke Asia kecil, menuju  Iran dan akhirnya memasuki India melalui celah-celah Halbar, di sebelah barat laut. Kemungkinan besar mereka memasuki India secara bergelombang dan dengan pelan-pelan mereka menduduki seluruh India utara.
  
Peradaban Sungai Indus dan Mohenjodaro dan Harappa
Peradaban Lembah Sungai Indus
Peradaban India kuno dikenal sebagai peradaban Lembah sungai Indus. Luas geografi wilayah peradaban ini meliputi 1,25 juta km atau seluas Pakistan sekarang. Dua kota yang sangat terkenal ini adalah Mohenjodaro di wilayah Pakistan Selatan sekarang dan Harappa di daerah Punjab.
Kemakmuran peradaban Lembah Sungai Indus sangat bergantung pada intensifikasi pengelolaah lahan pertanian di sepanjang lembah. Di kawasan ini, petani mengembangkan budaya agraris. Dari hasil itu, mereka mampu menghasilkan gandum, sayuran, dan kapas. Petani juga berternak sapi, kerbau, dan babi. Peradaban sungai Indus berkembang selama kurang lebih seribu tahun. Namun, peradaban tersebut tampak muncul secara singkat dalam sejarah peradaban umat manusia karena mengalami kehancuran.

Peradaban Mohenjodaro dan Harappa
Dalam mempelajari peradaban dunia nama Indus lebih jauh lebih popular. Hal itu berhubungan dengan adanya penemuan besar pada abad ke 20 oleh jajaran Pemeriksaan Kebudayaan Kuno di India. Ketika itu mereka sedang melakukan penggalian tanah di sebuah kampung bernama Mohenjo-Daro dan Harappa yang berada di tepi lembah sungai Indus. Penggalian itu menghasilkan barang-barang berharga, antara lain perabot rumah tangga, lempengan-lempengan tanah yang berhiaskan gambar binatang dan pohon beringin, serta sisi-sisi bangunan gedung maupun sisi-sisi benteng. Bangunan tersebut paling banyak ditemukan di kampung Mohenjo-Daro. Oleh karena itu para ahli memperkirakan bahwa masyarakat yang tinggal di sungai Indus sudah mempunyai peradaban yang tinggi. Adanya perabot rumah tangga menandakan bahwa mereka sudah hidup bermasyarakat dan mempunyai kemampuan mengelola dan menyajikan makanan seperti layaknya manusia sekarang.
  
Invansi Bangsa Arya
Banyak ahli sejarah menduga bahwa peradaban Mohenjodaro dan Harappa runtuh akibat serbuan bangsa Arya. Pengetahuan mengenai awal bangsa Arya diperoleh dari kitab Regweda, yang merupakan kitab tertua dan paling suci bagi umat Hindu. Kitab tersebut berisi beberapa informasi sejarah mengenai bangsa Arya dan suku-suku asli bangsa India.
Bangsa Arya diperkirakan masuk ke India antara 2000 dan 1000 tahun sebelum Masehi. Kaum Arya, yang memisahkan diri dari kaum sebangsanya di Iran dan yang memasuki India melalui jurang-jurang di pegunungan Hindu Kush.
Bangsa Arya itu, yang termasuk induk bangsa Indo-Eropa. Dari tempat mereka terakhir di daerah Asia pusat sebagaian dari mereka memasuki dan menetap di dataran tinggi Iran, dan sebagian lagi di Punjab (5 sungai). Di sepanjang sungai Sindhu terdapat suatu peradaban bangsa Dravida yang sudah tinggi sekali tingkatnya. Peradaban itu berpusat di kota-kota yang diperkuat dengan benteng-benteng.
Setelah datang di India mereka menentap di dataran sungai Sindhu yang pada zaman itu masih subur, jadi di daerah itu mereka telah menjumpai suatu peradaban tua. Di dalam beberapa hal mereka sangat berbeda dengan bangsa Dravida. Kemudian mereka lebih jauh memasuki India sampai di tepi sungai Gangga dan sampai di sebelah selatan.
Pada waktu bangsa Arya masuk ke India, mereka itu masih merupakan bangsa setengah nomad (pengembara), yang baginya peternakan lebih besar artinya dari pada pertanian. Bagi bangsa Arya kuda dan lembu adalah binatang-binatang yang sangat dihargai sehingga binatang-binatang itu dianggap suci. Dibandingkan dengan bangsa Dravida, maka bangsa Arya boleh dikatakan primitif. Mereka memasuki daerah yang sangat luas yang tertutup oleh hutan rimba yang tak terhingga, tempat tinggal banyak binatang dan seringkali sangat berbahaya. Orang-orang yang mereka jumpai di situ adalah orang-orang yang sangat asing bagi mereka mengenai bahasa, bentuk badan, air muka, kebudayaan dan mengenai cara hidupnya.
Mereka pun harus membereskan masalah-masalah sosial yang sukar, yakni kemurnian darah atau asimilasi (penyesuaian) dengan orang-orang bukan Arya. Walaupun tanah sangat subur dan kaya akan tumbuh-tumbuhan serta iklim sangat baik, sehingga mereka tidak perlu mengkhawatirkan penghidupan mereka, namun di dalam tempat-tempat pendudukan mereka yang kecil-kecil dan merupakan semacam desa-desa yang diperkuat di tengah-tengah hutan itu, mereka harus memecahkan soal-soal yang gawat. Akhirnya mereka pun makin bercampur dengan bangsa Dravida dan dengan demikianlah terwujudlah akhirnya suatu kesatuan. Berkat peleburan kebudayaan Dravida yang tua itu dengan kebudayaaan Arya terjadilah kemudian kebudayaan India.
Dahulu orang tidak tahu dengan tepat dan selalu memandang kebudayaan India seluruhnya sebagai kebudayaan yang dibawa oleh bangsa Arya. Tetapi terutama setelah penggalian-penggalian tersebut di atas, berubahlah pandangan orang dan makin banyak diketahui, bahwa bermacam-macam unsur di dalam kebudayaan India berasal dari kebudayaan Dravida yang tua itu. Bangsa Arya datang dengan membawa bahasa Sansakerta. Mereka juga memperkenalkan sistem kasta, yang menempatkan orang-orang ke dalam bermacam-macam kasta atau warna berdasarkan kedudukan.  Jadi dapatlah dikonstatir dengan jelas, bahwa agama Hindu sebagai agama tumbuh dari dua buah sumber yang berlainan, tumbuh dari perasaan dan pikiran keagamaan dua bangsa yang belainan, yang mula-mula dalam banyak hal sangat berlainan, tetapi kemudian lebur jadi satu.

Interakasi dengan Peradaban Dravida, Arya dan Peradaban dan agama lembah sungai Indus
Peradaban Bangsa Dravida dan Bangsa Arya
India termasuk salah satu tonggak peradaban tertua di dunia dengan situsnya di sekitar lembah Sungai Indus. Dari penemuan fosil-fosil, tampak bahwa di daerah itu terdapat dua tipe penduduk. Pertama, penduduk asli dengan ciri-ciri: kulit gelap, kecil dan pendek, hidung lebar dan pesek dengan bibir tebal menonjol. Keturunan dari tipe ini sampai sekarang masih dapat kita jumpai di antara kasta rendah masyarakat India. Kedua, mereka yang seketurunan dengan suku Mediteranian. Ini berhubungan erat dengan orang-orang yang hidup pada masa pradinasti di Mesir, Arab, dan Afrika Utara. Kulit mereka lebih terang, berbadan tegap, hidung mancung, dan bermata lebar.

Bangsa Dravida Suku Asli India
Bangsa-bangsa yang peradabannya mirip dengan kebudayaan bangsa Sumeria di daerah Sungai Eufrat dan Tigris, telah menetap di Lembah Sungai Sindhu (Indus) antara 3000 tahun sampai 2000 tahun Sebelum Masehi. Berbagai cap dari pada gading dan tembikar yang ada tanda-tanda tulisan dan lukisan-lukisan binatang, menceritakan kepada kita adanya persesuaian di dalam peradaban tersebut.
Sisa-sisa kebudayaan di Lembah Sungai Indus, terutama terdapat di dekat kota Harappa di Punjab dan di sebelah utara Karachi. Orang-orang di kota tersebut telah mempunyai rumah-rumah yang berdinding tebal dan bertangga. Penduduk India pada zaman itu terkenal sebagai “bangsa Dravida”. Mereka adalah bangsa-bangsa yang berkulit hitam dan berhidung pipih, berperawakan kecil dan berambut keriting.
Pada mulanya mereka tinggal di seluruh negeri, zaman ini sering disebut zaman Chalcolithi. Tetapi lama-kelamaan hanya tinggal di sebelah selatan dan memerintah negerinya sendiri, karena di sebelah utara mereka hidup sebagai orang taklukan dan bekerja pada bangsa-bangsa yang merebut negeri itu.
Peradaban lembah Indus pernah berlangsung di lembah Sungai Indus sejak 3.000-500 SM. Mungkin dimulai sebagai penggembala yang pindah ke lembah sungai selama musim dingin. Seiring waktu, mereka mungkin telah memutuskan untuk bercocok tanam. Mereka mulai berdagang dengan perahu sepanjang Indus turun ke Laut Arab, ke Teluk Persia, dan naik Tigris dan Efrat ke Mesopotamia.

Bangsa Arya di India
Dalam kamus New Oxford Dictionary 2009, menyebutkan bahwa Arya berarti; a member of a people speaking an Indo-European language who invaded northern India in the 2nd millenniumbc, displacing the Dravidian and other aboriginal peoples
Sekitar 1.500 tahun SM, bangsa Arya sebagai pejuang dan gembala yang tangguh, berpindah ke selatan menyeberangi Pegunungan Hindu Kush untuk berdiam di anak benua India. Bencana alam berupa musim kemarau atau wabah penyakit, atau perang saudara memaksa bangsa Arya meninggalkan kampung halaman di Rusia selatan. Mereka menyebar ke Anatolia, Persia, dan India. Mereka hidup dalam rumah-rumah kayu di desa terpencil, tidak seperti penduduk kota yang tinggal dalam rumah-rumah berbatu bata di lembah Sungai Indus.
Mungkin sekali bangsa-bangsa Arya itu, ketika mereka masuk ke India, kurang beradab dibandingkan bangsa Dravida yang ditaklukkannya. Tetapi, mereka lebih unggul di dalam ilmu peperangan dibandingkan bangsa Dravida. Pada waktu bangsa Arya masuk ke India, Mereka itu masih merupakan bangsa setengah nomaden (pengembara), yang baginya peternakan lebih dibutuhkan daripada pertanian. Bagi bangsa Arya, kuda dan lembu adalah binatang-binatang yang sangat dihargai sehingga binatang-binatang tersebut dianggap suci. Dibandingkan dengan bangsa Dravida yang tinggal di kota-kota dan yang mengusahakan pertanian serta menyelenggarakan perniagaan di sepanjang pantai, maka bangsa Arya bisa dikatakan lebih primitif. Misalnya saja bangsa Arya belum mempunyai patung-patung dewa sedangkan bangsa Dravida sudah.

Runtuhnya Peradaban Mohenjodaro
Menurut Michael Wetzel seorang guru besar di Universities Harvard dalam buku The Home of Aryans tahun 1750 sebelum Masehi, peradaban Harappa mulai mengalami perubahan baik dalam sifat manfaat maupun lingkungan kotanya. Barang-barang yang ditemukan sebelumnya sudah lenyap dan rumah-rumah mengecil. Di sebelah selatan Mohenjo-daro dekat Indus yaitu kota Chanhu-daro merupakan golongan kota yang mengalami kehancuran peradaban Indus, yang disebut sebagai kota yang bernama Jhkar dan Jhanger. Lanjutnya, tahun 1700 peradaban Indus yang pernah berjaya itu berakhir, disebabkan karena banjir akibat gerakan bumi. Perhiasan ditemukan pada tempat yang tinggi di Mohenjodaro, alat masak ditemukan berserakan dan kepingan tiang telah terbakar, ditemukan juga beberapa kerangka orang yang melarikan diri waktu terjadi bencana atau waktu dibantai oleh penjajah. Begitu pula dengan Harappa telah sangat hancur, kota kerajaan dengan benteng yang sangat menakjubkan telah hilang dan lenyap secara drastis. Jadi sebelum bangsa Arya melakukan invasi ke Peradaban India Kuno, perabadan disana sudah hilang.

Interaksi Peradaban Bangsa Dravida dengan Bangsa Arya
Dimasa tertulisnya kitab-kitab suci Hindu, telah didiami oleh bangsa Arya. Bangsa itu berwarna putih, tubuhnya besar dan kuat. Mereka berasal dari Asia Tengah dan kemudian hari menduduki Iran, Mesopotamia dan Eropa Selatan. Sebagian dari bangsa itu pindah dari Iran ke India melalui pegunungan Hindu Kush dan menaklukkan bangsa asli di daerah Punjab atau negeri Lima Sungai. Mereka juga mendesak penduduk asli yaitu bangsa Dravida ke India bagian selatan. Lambat laun bangsa Arya itu bercampur dengan bangsa asli dari bagian India Tengah dan Selatan, ialah bangsa Dravida yang berwarna hitam. Kebudayaan bangsa Dravida mungkin lebih tua lagi dari pada kebudayaan bangsa Arya. Orang Arya mengukur kekayaan dari jumlah ternak yang dimiliki. Sekalipun tidak semaju penduduk asli India, mereka lebih tangguh. Mereka dikenal sebagai prajurit dan penjudi, senang memakan daging sapi dan minum anggur serta menyukai musik, tari, dan perlombaan balap kereta perang. Perlahan, mereka pun menetap dan mengadopsi banyak cara hidup penduduk asli India, yaitu menjadi petani dan pandai besi. Padi adalah salah satu tanaman yang dibudidayakan. Sebelumnya, bangsa Arya tidak mengenal padi, walaupun padi telah ditanam di lembah Sungai Indus.
Dalam bidang bahasa, seni dan sastra bangsa Dravida independen namun banyak terpengaruh oleh Bangsa Arya. Bahasa Sanskrit di bawa oleh bangsa Arya, rumpun bahasa Indo-Eropa (Persia+Yunani+Latin+Inggris) mwmiliki kesamaan arti rumpun bahasa Indo-Eropa: pitâ (Sanskrit), patër (Yunani), pater (Latin), vater (Jerman), vader (Belanda),  father (Inggris). Semuanya berarti: ayah. Yang kemudian bahasa Indo-Eropa sebagai bahasa ibu; setelah itu Hindi & Bengali. Bahasa Sanskrit eksis dalam tiga bentuknya masa Magadha ( abad 4 SM) [12]:
Sanskrit Brahmana
Sastra
Untuk politik, hukum, dan seni
Sanskrit lebih pantas dianggap sebagai eskpresi kesusastraan pada masa Weda karena Sanskrit dialeknya berbeda dengan Sanskrit yang berlaku di lokalitas lainnya.
Bangsa Arya merasa dirinya lebih tinggi dari pada bangsa Dravida. Untuk menjaga kemurnian darahnya, mereka menciptakan sistem kasta (warna) dalam masyarakat. Ada empat kasta (catur warna) di India, yaitu:
Kasta Brahmana (golongan pendeta, kasta tertinggi)
Kasta Ksatria (golongan bangsawan dan prajurit),
Kasta Waisya (golongan pedagang dan buruh), dan
Kasta Sudra (golongan petani dan buruh kasar).
Ada golongan yang paling rendah derajatnya, yaitu golongan budak yang disebut kasta Paria atau Candala.

Interaksi Kepercayaan dan Agama Sungai Indus, Lahirnya Hindu
Jauh sebelum bangsa Arya masuk ke India Kuno, bangsa asli India, bangsa Dravida sudah memiliki kepercayaan. Obyek yang paling umum dipuja-puja orang nampaknya adalah tokoh Mother Goddess”, yaitu tokoh semacam ibu pertiwi, yang banyak dipuja orang di daerah Asia kecil. Dia digambarkan pada banyak lukisan kecil pada periuk belanga serta pada materi maupun jimat-jimat. Dewi-dewi yang lain nampaknya juga digambarkan dengan bentuk tokoh bertanduk, yang berpadu dengan pohon suci pipala. Seorang Dewa yang bermuka tiga dan bertanduk dijumpai lukisannya pada salah sebuah materi batu, dengan sikap duduk dikelilingi oleh binatang. Tokoh ini dipersamakan dengan tokoh Siwa-Mahadewa pada zaman kemudian. Dugaan ini kemudian diperkuat oleh penemuan gambar lingga yang merupakan lambang Siwa.
Sebagai dampak dari berkembangnya budaya Indo-Eropa adalah munculnya Agama Hindu. Menurut sejarahnya, Agama Hindu mempunyai usia yang cukup tua dan panjang, dan merupakan agama yang pertama kali dikenal oleh umat manusia. Kami mencoba mendefinisikan kapan dan dimana Hindu di sebarkan dan berkembang. Agama Hindu pada kelanjutannya telah melahirkan kebudayaan yang sangat kompleks baik dalam bidang astronomi, ilmu pertanian, filsafat, dan ilmu-ilmu yang lain. Sehingga kadang ada kesan rumit ketika kita berniat memahami ajaran Agama Hindu.
Perkembangan Agama Hindu di India pada dasarnya terjadi selama empat fase. Zaman Weda, zaman Brahmana, zaman Upanisad dan zaman Budha. Zaman Weda disinyalir telah berkembang pada masa peradaban Mohenjodaro dan Harappa. Bukti yang menunjukan fase ini adalah adanya patung yang menyerupai perwujudan Siwa. Selain itu pada masa ini masyarakat India kuno juga telah menyembah dewa-dewa. Tetapi kepastian dimulainya fase Weda adalah pada masa Bangsa Arya berada di Punjab di lembah sungai Indus sekitar 2500 s.d 1500 tahun sebelum Masehi.
Setelah terdesak bangsa Dravida akhirnya hijrah ke arah Selatan di dataran tinggi Dekkan, dan sebagian ada yang membaur dan berasimilasi dengan kebudayaan bangsa Arya. Bangsa Arya sendiri telah menyembah beberapa dewa, Surya (Dewa Matahari), Soma (Dewa Bulan),  Agni (Dewa Api), Indra (Dewa Hujan), dan Yama (Dewa Maut). Untuk memuja para dewa itu, orang mengadakan upacara sesaji. Kepercayaan bangsa Arya kemudian bercampur dengan kepercayaan bangsa Dravida. Hasil percampuran itu dikenal sebagai agama Hindu.

PERIODISASI SEJARAH AGAMA HINDU
Secara garis besar perkembangan agama Hindu dapat dibedakan menjadi tiga tahap. Tahap pertama sering disebut dengan zaman Weda, yang dimulai dengan masuknya bangsa Arya hingga munculnya agama Buddha. Selama zaman ini juga dikenal adanya tiga periode agama yang disebut ‘tiga periode agama besar’. Periode pertama dikenal sebagai Agama Weda Kuno atau Weda Samhita yang berlangsung dari sekitar abad ke-15 sampai abad ke-10 sebelum masehi. Periode kedua dikenal sebagai Agama Brahmana di mana para pendeta sangat berkuasa sehingga banyak sekali perubahan dalam kehidupan keagamaan, periode ini berlangsung dari sekitar abad ke-10 sampai abad ke-6 sebelum masehi. Dan terakhir yaitu periode ketiga yang dikenal sebagai Agama Upanishad. Periode ini berlangsung dari sekitar abad ke-6 sampai abad ke-5 sebelum masehi dengan ditandai oleh munculnya pemikiran-pemikiran kefilsafatan ketika bangsa Arya menjadi pusat peradaban disekitar Sungai Gangga.
Tahap kedua adalah tahapan yang disebut dengan zaman agama Buddha, yang mempunyai corak sangat lain jika dibanding dengan agama Weda. Zaman agama Buddha ini diperkirakan berlangsung antara abad ke-5 sampai abad ke-3 sebelum masehi. Dan tahap ketiga yaitu zaman setelah agama Buddha yang dikenal dengan zaman agama Hindu. Tahap ini dimulai sejak abad ke-3 sebelum masehi hingga sekarang.

Perkembangan Agama Hindu Sebelum Zaman Agama Hindu
a.    Zaman Weda
Zaman ini dimulai dari datangnya bangsa Arya kurang lebih 2500 tahun sebelum masehi ke India, dengan menempati lembah sungai Sindhu, yang juga dikenal dengan nama punyab (daerah lima aliran sungai). Bangsa Arya tergolong ras Indo-Eropa, yang terkenal sebagai pengembara cerdas, tangguh dan trampil.
Zaman Weda merupakan zaman penulisan wahyu suci Weda yang pertama yaitu Rigweda. Kehidupan beragama pada zaman ini, didasarkan atas ajaran-ajaran yang tercantum pada Weda Samitha, yang lebih banyak menekankan pada pembacaan pelafalan ayat-ayat Weda secara oral, yaitu dengan menyanyikan dan mendengarkan secara berkelompok. Weda adalah kitab suci Agama Hindu. Sumber ajaran Agama Hindu adalah kitab suci Weda. Semua ajarannya bernafaskan Weda. Weda menjiwai ajaran agama Hindu, karena itu agama Hindu mengakui kewenangan ajaran kitab suci weda. Weda adalah wahyu atau sabda suci Tuhan Yang Maha Esa/Hyang Widhi wasa, yang diyakini oleh umatnya sebagai anandi ananta yakni tidak berawal dan tidak diketahui kapan diturunkan dan berlaku sepanjang masa. Namun demikian dikalangan sarjana, baik Hindu maupun Barat telah berikhtiar untuk menentukan kapan sebenarnya Weda itu diwahyukan.
Kehidupan keagamaan umat Hindu didasarkan pada naskah suci yang disebut Weda Samhita, yang mereka yakini sebagai ciptaan Brahma. Hanya para resi saja yang mampu menerima isi Weda tersebut. Isi Weda pada mulanya berbentuk mantra-mantra, kemudian disusun dalam bentuk puji-pujian. Kitab suci Weda terdiri dari empat Samhita, yaitu:
·      Rigweda. Rigweda berasal dari kata “Rig” yang berarti memuji. Kitab ini berisi 1000 puji-pujian kepada dewa dalam bentuk Kidung, dan masing-masing Kidung (sukta) terbagi lagi dalam beberapa Bait. Bagian akhir Rigweda membicarakan perawatan orang mati, pembakarannya dan penguburannya menurut umat Hindu, Rigweda ini sangat penting di dalamnya terdapat pengertian dan isyarat akan Agama mamoteistis dengan falsafah yang monistik, itulah yang maha Esa. Orang-orang suci memberinya agama yang bermacam. Mereka menyebutnya dengan Agni Yama dan Matariwan (Rigweda I, 164:44).
·      Samaweda. Samaweda merupakan suatu bunga-rampai Rigweda, dan sangat menekankan pada tanda-tanda irama musik. Samaweda terdiri dari 1549 bait. Puji-pujian dinyanyikan diikuti irama musik oleh para pendeta yang disebut Udgatr, dan biasanya dilakukan pada upacara korban diselenggarakan.
·      Yajurweda. Weda ini tidak hanya memuat mantra-mantra dan persembahan soma saja, akan tetapi mantra-mantra yang diucapkan dalam beberapa upacara kecil. Yajurweda memiliki hubungan yang sangat erat dengan Rigweda dan Samaweda, dan ketiga-tiganya sering disebut dengan Triwedi.
·      Atharwaweda. Para atharwan adalah golongan pendeta tersendiri. Dalam weda ini dijumpai kidung-kidung yang harus di ucapkan pada waktu mempersembahkan soma. Isi Atharwaweda berupa mantra-mantra magis dan doa-doa yang bunyi dan artinya sendiri dianggap sudah memiliki kekuatan.
Dalam kitab-kitab Weda tidak terdapat uraian mengenai doktrin-doktrin maupun amalan-amalan ajaran Hindu yang khas. Tidak ada pemujaan terhadap patung, tidak ada hal-hal yang berhubungan dengan ritus permandian di sungai-sungai yang dianggap suci, tidak ada uraian tentang pertapaan di hutan, dan tidak ada praktek yoga maupun pertarakan, juga tidak ada ajaran avatara atau penjelmaan. Weda sebagai sumber ajaran agama Hindu terdiri dari kitab Sruti dan Smrti. Sruti adalah wahyu sedangkan Smrti adalah kitab yang menguraikan komentar, penjelasan atau tafsir terhadap wahyu. Materi weda diuraikan pada Sruti dan smrti. Sruti menurut sifat dan isinya dibedakan atas 4 bagian : Mantra, Brahmana, Aranyaka, Upanisad.

Dewa-dewa
Dewa-dewa yang dipercayai kedudukannya lebih tinggi, karena bersikap murah pada manusia dan berkenan menerima pujaan dan pujian manusia. Dewa-dewa salalu dihadirkan dalam menyelamatkan dari gangguan-gangguan roh jahat. Mengenai Dewa-dewa dalam Rig Weda disebutkan ada 33 Dewa, dibedakan atas: Dewa-dewa langit, Dewa-dewa Angkasa, Dewa-dewa Bumi. Dewa-dewa langit antara lain adalah Dewa Waruna, yang dipandang sebagai pengawas tata dunia atau Rta. Akibat karya dewa Waruna maka langit teratur, sungai-sungai mengalir dengan baik dan musim-musim datang pada waktunya. Dewa Waruna memberikan hadiah kepada yang mengikuti Rta dan hukuman kepada yang jahat. Selain Waruna juga Dewa Surya dan Dewa Wisnu termasuk Dewa langit. Dewa Surya diyakini dapat memperpanjang hidup dan mengusir penyakit. Dewa Surya digambarkan sebagai menaiki kereta dapat melangkah tiga langkah. Langkahnya yang ke tiga dipandang tertinggi, sebagai surga tempat kedamain para Dewa. Dewa-dewa angkasa antara lain Dewa Indra dan dewa Angin. Dewa Indra sering disebut dengan Dewa perang dan mendapat kehormatan yang besar sekali, sebab sering membantu manusia dalam perang. Dewa Indra digambarkan bersenjata panah/wajra. Dewa angin dipandang sebagai Dewa yang penting.
Yang termasuk Dewa-dewa bumi adalah Dewa Pertiwi, dan Dewa Agni. Dewa Pertiwi adalah Dewa bumi yang sering disembah sebagai Dewa Ibu. Dewa Agni juga disebut Dewa Api, yang sering dianggap sebagai perantara antara manusia dan Dewa Agnilah yang meneruskan puji-pujian dan korban bakar kepada para Dewa yang dimaksud. Agni pula yang mendatangkan para Dewa ke tempat-tempat saji dengan bunyi-bunyian dalam Api. Setiap rumah orang Hindu biasanya mempunyai tiga macam api, yaitu api untuk upacara harian (agnihotra), seperti yang sampai saat ini masih terdapat di kalangan keluarga pandit yang ortodoks; api yang untuk upacara tengah bulanan yang dikaitkan dengan bulan baru atau bulan purnama; dan api untuk upacara penghormatan dan pemujaan arwah leluhur. Kemudian Dewa Soma, Dewa minuman keras soma yang diperoleh dari perasan tumbuh-tumbuhan yang disebut soma pula. Soma adalah minuman para Dewa. Dalam upacara korban, soma dituangkan sebagai persembahan untuk para Dewa. Hal yang agak aneh ialah bahwa rasa hormat yang luar biasa bukannya yang ditujukan kepada objek ritus itu sendiri tetapi hanya kepada kekuatan soma itu saja. Ada beberapa Dewa lain yang masing-masing kurang jelas urutan kepentingannya. Dewa-dewa tersebut adalah Surya (Dewa matahari), Wisnu, si kembar Aswin atau Nasatya (Dewa alam pagi hari) yang kemudian menjadi dewa kesehatan, Usas (dianggap sebagai Dewa fajar), Marut (Dewa taufan dan angin ribut), Rudra (Dewa taufan dan petir), parjanya (Dewa pengetahuan)). Dewa-dewa penting sebagai personifikasi kekuatan alam adalah cipta, Brhamananaspati atau Brahaspati (Dewa personifikasi perbuatan manusia alam sesaji), dan Widhatar (Dewa Guntur). Sekalipun dalam agama ini didapati banyak sekali Dewa, namun mereka tidak dapat dikatakan politeistis karena ternyata Dewa tertinggi yang memiliki segala kekuasaan para Dewa yang lain. Dengan demikian hanya ada satu Dewa tertinggi saja yang memiliki segala kekuatan para Dewa, yang namanya berganti-ganti. Oleh karena itu barangkali lebih tepat kalau dikatakan sebagai kepercayaan henoteisme (henoteisme= keyakinan kpd satu Tuhan tanpa mengingkari adanya dewa lain dan makhluk halus). Max Muller juga menghindari pemakain istilah monoteisme atau politeisme dalam ketuhanan agam Hindu. Mereka menggunakan istilah “henoteisme” karena ada kecendrungan melukiskan semua kekuatan pada Tuhan tertentu dan utama yang ada dalam pikiran para pemujanya. Selain dapat disebut sebagai kepercayaan sebagai henoteistik, barang kali agama ini dapat pula disebut sebagai katenoteisme (khathenotheisme) karena dalam agama ini terdapat kecenderungan untuk memuliakan dan mengagungkan hanya satu Dewa yang maha tinggi yang diperlukan sebagai obyek tunggal. Akan tetapi Dewa-dewa lain terhimpun kepadanya.

Roh-roh (jahat)
Menurut kepercayaan Weda kuno, selain para Dewa masih ada lagi roh-roh jahat. Roh jahat ada dua macam: yang tinggi kekuasaannya menjadi musuh para Dewa. Musuh Indra adalah roh jahat yang menguasai musim kemarau (Wrta). Roh jahat yang kurang kekuasaannya adalah Raksa dan pisaca (pemakan bangkai). Raksa sering menampakan diri sebagai manusia dan binatang. Ada lagi roh “hais” seperti Gandarwa, Yaksa, Bhatu dan Raksasa.
Arwah leluhur sangat penting kedudukannya dalam kepercayaan agama Weda ini. Apabila orang meninggal, jiwanya tidak langsung sampai di alam bahagia tetapi masih mengembara dalam keadan menderita. Jiwa semacam ini disebut dengan preta, dan sangat membahayakan. Oleh karena itu keturunannya, anak cucu terutama anak laki-lakinya, perlu mengadakan upacara sesembahan dan menyelenggarakan upacara korban supaya petra segera sampai kealam bahagia yaitu alam pitara. Raja para pitara adalah Dewa Yama.

Korban
Umat Weda memuliakan para leluhur mereka dengan menyelenggarakan upacara korban, yang selain dilakukan dengan harapan supaya para Dewa melindungi manusia dari gangguan roh jahat, juga supaya para Dewa memberikan kelancaran, kemurahan dan ketenangan serta ketentraman. Tujuan utama melakukan upacara korban dalam agama Weda ini ialah terjaminnya tata tertib kosmos. Pelaksanaan korban dipimpin oleh pendeta yang membujuk dan merayu para Dewa untuk mengabulkkan permohonan manusia. Selain itu masih ada korban Rajasuya, korban untuk penobatan dan kedaulatan raja yang diselenggarahkan dengan upacara yang disebut Aswameda. Korban-korban ini disertai dengan pengucapan doa-doa yang tersebut dalam Rigweda, irama musik yang diselingi bunyi seruling, makan atau pesta bersama, dan diakhiri dengan pengucapan doa untuk kesejahteraan dan kemakmuran bersama. Untuk keperluan sehari-hari korban oleh kepala keluarga dari segi penyelenggaraan. Korban yang dilakukan hanya seorang pendeta saja dirasa kurang memuaskan. Oleh Karena itu biasanya korban diselenggarakan oleh beberapa orang pendeta. Pendeta yang sangat diutamakan biasanya disebut  Hotri yang tugasnya adalah menyetir bait-bait yang terdapat dalam Rigweda. Pendeta Adwaryu juga penting karena dalam penyelenggaraan korban ini dilakukan persiapan-persiapan yang cermat. Ia menunggu api supaya tidak padam dan menyiapkan beberapa macam makanan yang di perlukan. Para Brahmana mengawasi penyelenggaraan korban tersebut. Selama upacara koban berlangsung, kidung-kidung dinyanyikan oleh Udgrati. Upacara korban sehubungan dengan peristiwa suci disebut Samsakara, dan biasanya dilakukan oleh ketiga kasta atas. Yang terpenting adalah upacara-upacara korban yang berkaitan dengan masalah kematian.
Ada pula upacara korban yang diselenggarakan bersama oleh masyarakat dibantu pejabat lain. Korban diselenggrakann di rumah-rumah atau di altar. Benda yang dipersembahkan biasanya adalah benda-benda yang disukai oleh manusia seperti susu; ghee dan kue-kue yang terbuat dari gandum atau beras. Kalu korban tersebut berupa bintatang, maka daging korban tersebut tidak mereka makan. Menurut Robert D. Baird dan Alfred Bloom, korban binatang ini merupakan bukti korban manusia yang pasti diterima oleh para Dewa.

Praktek Keagamaan
Dua macam upacara simbolok yang penting ialah: pertama korban manusia (purusa) sebagaimana tercantum dalam kidung kosmogonik dalam Rigweda, yang menyebutkan bahwa yang maha tinggi telah menjalani korban sarwameda di mana manusia mengakui kemahakuasaan Tuhan secara universal sehingga kemudian Dewa melimpahkan segala miliknya kepada seluruh manusia.
Dikalangan rakyat umum terdapat beberapa upacara korban sebagai upacara siklus kehidupan. Dibeberapa tempat, upacara tersebut terdiri dari satu seri upacara korban kecil dengan sesaji yang sangat sederhana seperti sayur-sayuran dan buah-buahan. Upacara dilakukan sendiri oleh pemilik ruma selaku penanggungjawab anggota keluarganya. Upacara ini juga mementingkan api. Yang menjadi pusat pemujaan orang-orang ini adalah korban. Korban-korban itu dipersembahkan dengan maksud untuk mendapatkan kemurahan dewa-dewa menghindari diri dari permusuhan roh-roh yang jahat, dan memuja para leluhur. Pada hakikatnya korban yang dipersembahkan kepada Dewa-dewa itu bersifat permohonan, yaitu memohon keuntungan-keuntungan bagi hari depan, sehingga korban ucapan syukur bagi hal-hal yang sudah dialaminya tidak ada. Ada dua maca korban, yaitu korban tetap, yang dilakukan tiap kali, pada waktu pagi dan sore, tiap bulan baru dan bulan purnama, tiap awal musim semi, musim hujan, dan musim dingin. Disamping itu ada korban berkala, yang dikorbankan jika ada keperluan, umpamanya korban soma, aswameda, atau koban kuda, rajasuya, dan sebagainya. Kecuali korban-korban masih ada upacara-upacara lainnya yang harus dilakukan orang, yaitu pada waktu istri mengandung, melahirkan anak, anak berumur 4 bulan, yaitu waktu diajak berpergian untuk pertama kali, atau juga waktu anak makan yang pertama, atau waktu ia dicukur untuk yang pertama kali, dan sebagainya. Demikanlah seluruh kehidupan orang pada zaman iitu meliputi oleh upacara-upacara keagamaan.

b.   Zaman Brahmana
Brahmana adalah kitab suci yang menguraikan masalah yajna (sesaji) dan upacara-upacaranya, yang meliputi arti suatu yajna serta tenaga ghaib apa yang tersimpul dalam upacaranya dan sebagainya. Tiap-tiap yajna ditetapkan dengan cermat sekali menurut peraturan-peraturannya. Penyimpangan sedikit saja dari peraturan-peraturan itu dapat menyebabkan batal dan tidak sahnya suatu yajna.
Untuk yajna yang demikian pentingnya dan upacara-upacara yang begitu rumit, diadakanlah kitab-kitab penuntun, yang disebut Kalpasutra. Kitab ini ada dua macamnya sesuai dengan adanya dua macam yajna, yaitu:
·      Grhyasutra, yang merupakan penuntun untuk yajna-yajna kecil dalam lingkungan keluarga.
·      Srautasutra, yang merupakan penuntun untuk yajna-yajna besar dalam lingkungan raja-raja dan negara.     

Pada zaman ini ada beberapa hal yang menarik untuk dikaji, diantaranya yaitu:
Kaum pendeta
Pendeta adalah sesepuh agama atau orang yang mengerti dalam suatu hal yang berbau agama. Dalam agama Hindu pendeta adalah orang yang suci sekaligus orang yang paling dekat dengan para dewa-dewa.  

Korban
Pergeseran penting dalam hal korban ialah semakin tingginya nilai yang diberikan kepada korban tersebut sehingga berhasil atau tidaknya maksud dan tujuan korban sangat tergantung pada kekuatan yang ada didalam korban itu sendiri, tidak tergantung pada kemurahan dewa tetapi pada kekuatan yang ada pada arti dan bunyi mantra-mantra dan perbuatan dalam korban tersebut. Dalam hal ini pemilihan mantra yang tepat akan menjamin keberhasilan dalam hal persembahan sebuah korban.
Dalam kitab Brahmana dan kitab Weda korban diterangkan secara panjang lebar. Ada dua macam korban, yaitu:
Korban besar
Korban besar ini menggunakan empat macam api suci dan dilakukan oleh para pendeta atas permintaan orang yang memerlukannya. Korban terpenting dalam korban besar ini disebut dengan somayajna. Salah satu somayajna ialah korban kuda (Aswameda). Setiap raja berkeinginan untuk melakukan korban ini karena dianggap sebagai ujian bagi kekuasaan dan kekuatannya. Dengan korban ini ia akan menjadi seorang Cakrawartin, raja seluruh alam semesta, pencipta perdamaian, ketentraman dan kesejahteraan. Seperti halnya dalam agama Weda, korban dalam agama Brahmana ini juga dilakukan oleh empat orang pendeta yang dibantu oleh pembantu masing-masing. Pendeta adwaryu menyelenggarakan kurban dengan mengucapkan lafal-lafal yang diambil dari Yajurweda. Korban besar diuraikan dalam Srautra-Sutra.

Korban kecil
Korban kecil banyak diuraikan dalam Grhya-Sutra. Korban ini hanya memerlukan kelengkapan yang sederhana, cukup dengan api suci yang ditaruh di setiap rumah tangga. Api tersebut dibuat oleh kepala keluarga begitu ia membentuk rumah tangga. Nitya  termasuk korban kecil yang harus dilakukan pada saat-saat tertentu, seperti permulaan musim baru, bulan muda, bulan purnama, waktu menyemaikan benih dan waktu permulaan panen, dan kurban untuk para pitara. Upacara korban tersebut sebenarnya bukan lagi merupakan upacara agama yang sebenarnya. Korban di sini bukan lagi berpusat pada dewa akan tetapi pada manusia dan hubungan antara manusia dengan dewa sudah merupakan hubungan yang bersifat magis saja.

Kasta
Agama Brahmana mengenal adanya kasta-kasta, yaitu kasta Brahmana (pendeta), Ksatria (pemegang tampuk pemerintah), Waisya (pekerja), dan Sudra (rakyat biasa). Sebenarnya dalam Rigweda hanya ada dua “varna” saja, yaitu Arya Varna (kulit kuning) dan Dasyu Varna (kulit hitam). Jumlah kasta itu sendiri sebenarnya sangat banyak. Menurut Bleeker, sistem ini berpangkal pada keempat golongan tua dari suku Arya, yaitu dari golongon pendeta Brahmana, golongan perwira (ksatria), golongan pedagang atau petani (waisya), dan golongan buruh atau budak (sudra). Di luar keempat kasta ini masih ada lagi suatu kasta atau golongan yang tidak boleh di dekati atau disentuh, yaitu kasta Paria (outcast). E.A. Gait mengatakan bahwa pada umumya bangsa Arya tidak suka akan perkawinan antar suku, tidak suka makan bersama denga suku yang lebih rendah apalagi dengan yang berkulit hitam. Akan tetapi, akibat peperangan beberapa suku kekurangan istri sehingga terpaksa kawin dengan orang–orang pribumi. Jelas bahwa anak-anak mereka ini  akan di anggap lebih rendah status sosial mereka. Demikianlah keturunan kedua telah menimbulkan kelas antara bangsa Arya asli dan bangsa pribumi, yaitu orang-orang yang berdarah campuran. Perkembangan seperti ini kemudian menimbulkan adanya prinsip dasar peraturan catur varna (empat kasta) adalah endogamis. Perpindahan kasta tidak diperbolehkan dan juga tidak mungkin. Artinya, seorang laki-laki harus hanya kawin dengan wanita dari kasta yang sama, dan anaknya lahir dalam kasta yang sama dengan orang tuanya.

Asrama
Asrama adalah tingkatan hidup. Dalam agama Brahmana disebutkan adanya empat tingkatan hidup yang harus dilalui setiap orang penganut agama tersebut. Sebelum memasuki keempat tingkatan tersebut setiap orang harus lebih dahulu melakukan upacara upanayana, yaitu upacara menjadikan seseorang anak menjadi “dwija” dan resmi sebagai anggota kasta, serta siap memasuki tingkatan hidup yang pertama, yaitu kehidupan sebagai Brahmacarin. Anak tadi akan  meninggalkan rumah orang tunya dan menetap sebagai siswa (sisya) di kediaman seorang guru untuk mempelajari isi kitab Veda dan pengetahuan keagamaan lainnya. Ia harus tunduk terhadap gurunya dan istri guru, patuh melaksanakan segala perintahnya dan harus mencari makan sendiri dengan cara minta-minta. Sebagai imbalannya dia akan menerima pelajaran dari guru terutama tentang Dharma dalam kitab suci. Kalau sudah selesai, anak segera pulang dan kawin. Mulailah ia memasuki tingkatan kedua, Grhasta, yang dimulai dengan perkawinan. Upacara perkawinan termasuk upacara terpenting yang diselenggarakan di rumah. Selesai melakukan upacara ini, kedua mempelai melangkah sebanyak tujuh langkah ke timur-laut sambil diperciki air suci. Sambil memegang tangan istrinya, suami sambil mengucapkan mantra-mantra kemudian membawa api suci yang harus tetap dipeliharanya di rumah. Setelah itu mulailah kehidupan sebagai suami-istri. Ia menjadi kepala keluarga yang bertanggung jawab mendidik anak-anaknya dan melaksanakan kewajiban terhadap para dewa dengan menjalankan sesaji dan upacara korban. Ia juga harus melaksanakan kewajibannya yang berhubungan dengan mayasarakat. Tingkatan ketiga adalah Vanaprastha (kehidupan di hutan, vana=hutan). Tingkatan ini adalah tingkatan yang harus ditempuh apabila seseorang sudah mencapai usia lanjut. Segala kewajibanya sebagai kepala keluarga diserahkan kepada anak laki-laki. Adakalanya ia masuk hutan bersama istrinya supaya memberikan ketenangan dan keheningan berfikir dalam upaya mencapai kesempurnaan hidup. Segala ikatan duniawi harus dilepaskannya untuk sepenuhnya mengabdikan diri secara keagamaan. Tingkatan terakhir, atau yang keempat, ialah Sanyasin, yaitu tingkat pertapa yang telah lepas dari kehidupan dunia. Sekalipun ia masih hidup di dunia ini namun ia sama sekali telah melepaskan diri dari permasalah dunia sehingga kesempatan untuk mencapai moksa.

Dewa-dewa
Bila kita perhatikan perkembangan pemujaan saat ini dewa-dewa dalam kitab suci Veda, khususnya Indra, Vayu, Aditi dan lain-lain, nampaknya tidak dipuja lagi. Mengapa hal tersebut dapat terjadi? Hal ini tidak lain, karena kedudukan dewa-dewa tersebut di atas, pada zaman kitab-kitab Purana disusun tidak lagi dipuja karena fungsi dan peranannya digantikan oleh Tiga Devata Utama, manifestasi-Nya yang kita kenal dengan Tri Murti. Dewa Agni diidentikan dan digantikan oleh Brahma, Indra dan Vayu diidentikan dan digantikan oleh Visnu, walaupun dalam kitab suci Veda, Visna adalah nama lain dari Surya dan Surya sendiri diidentikan dan digantikan fungsi dan peranannya oleh Siva. Ketiga dewa-dewa ini dengan “parivara devata”-Nya (keluarga dewa-dewa, sakti atau istrinya, putra-putrinya termasuk pula pengiringnya) mendapat pujaan yang khusus.
Penggambaran dewa-dewi dalam wujud tertentu, dimaksudkan untuk lebih mudah membayangkan-Nya, sesuai sifat-sifat yang didambakan oleh umat kepada-Nya. Selanjutnya disampaikan penggambaran dewa-dewa dalam Veda,  di antaranya sebagai berikut:
·      Dyaus. Dewa Dyaus adalah dewa langit. Ia merupakan bapak dari para dewa dan merupakan dewa tertua dari seluruh dewa dalam Veda maupun Susastra Hindu. Di dalam mantra Veda dilukiskan sebagai dewa Akasa (langit). Dyaus dikenal sebagai dewa yang paling berkuasa atas surga. Di dalam mantram pujian (stava) Dyaus sering dikaitkan dengan Prithivi sehingga terbaca Dyavaprthivi, sebagai lambang bapak-ibu yang bersifat paternal. Nama Dyaus di dalam Rgveda terbaca tidak kurang dari 50 kali. Ia digambarkan sebagai: besar, bijaksana dan energik yang mengajarkan kebajikan kepada penyembahnya. Di dalam berbagai mantra Rgveda, ia disebut juga sebagai pencipta semua makhluk. Sebagai bapak ia digambarkan dalam bentuk fisik yang kekar, berewok. Ia disebut Dyaus Pitar yang berarti bapak Sorga. Dalam bahasa Latin dikenal Yupiter, sedang dalam bahasa Yunani Kuno disebut Zeuspitar atau Zeupita. Diduga kata Dyaus berasal dari kata div (memancarkan sinar atau cahaya) yang artinya sama dengan dewa.
·      Prithivi. Dewi Prithivi adalah dewa bumi, digambarkan seorang wanita yang sangat ramah dan merupakan dambaan setiap orang. Dewa ini disebut beberapa kali di dalam kitab Veda (Rgveda). Parthivi artinya yang mempunyai permukaan lebar, yang dimaksud adalah bumi. Ia dikenal dengan Ibu yang sangat baik. Dalam Pura ia disebut melahirkan seorang putra yang bernama Bhoma (Neraka), dalam Ramayana, ia disebut menjelma sebagai Sita. Nama lainya adalah: Vashundari, Ksitidharani dan lain-lain.
·      Aditi dan Aditiya. Aditi selalu disebut sebagai sorang dewi, Ibu para dewa. Ia disebut sebagai dewi yang memberi kebahagiaan. Aditi merupakan personifikasi dari Ibu alam semesta, Hiranyagarbhah dalam Rgveda. Ia disebut maha pengampun, melenyapkan dosa manusia. Dalam Regveda dinyatakan Aditi lahir dari Daksa, tetapi versi yang lain menyatakan bahwa Daksa adalah putra dewi Aditi. Versi yang lainnya menyatakan lagi bahwa Aditi bersaudara dengan Daksa, ibu dari Vivasit. Aditiya berarti putra Aditi, pada umumnya diartikan sebagai dewa-dewa yang merupakan satu kelompok. Ia dipersonifikasikan sebagai dewa yang mempunyai kekuasaan yang paling tinggi sebagai perwujudan dari hukum yang mengatur peredaran alam semesta. Ia mengatur tata-surya dan mengatur hukum dunia. Ia bersemayam di langit, di alam yang tertinggi, menguasai seluruh hidup dan materi sebagai mantra (elemen).
·      Agni (dewa api). Agni sering disebut dalam Veda, di samping Indra dan Surya. Di dalam mantram pertama, Sukta pertama dalam Mandala pertama kitab suci Rgveda, Agni disebut Purohita para devata dan penganugrahkan kemakmuran dan kebahagiaan. Ia disebut sebagai saksi yang tetap eksis sampai kini dalam setiap pemujaan umat Hindu. Fungsi Agni sebagai pandita, sebagai duta, sebagai pemberi berkah, sebagai akhil Veda, penjaga rumah sebagai saksi dan lain sebagainya menyebabkan Agni tetap dimulyakan.
·      Surya. Surya adalah dewa matahari, ia  dipuja sebagai wajah Agni di angkasa (Rgveda x. 7. 3), matanya Mitra dan Varuna, sebagai dewanya mata atau maha melihat. Dewa Surya seperti telah disebutkan di depan adalah putra Aditi dengan Dyaus, Dewi Usas (fajar) adalah saudaranya perempuan. Savtr sering dihubungkan dengan matahari pagi dan Surya dihubungkan dengan matahari pada siang hari sampai terbenam. Pengercaan dewa Surya berwarna merah tembaga, merah dan coklat. Ia sangat kasih, pemurah, melenyapkan ketakutan, dikelilingi oleh kekuatan hidup, para Rudra, menjadi tempat perlindungan diseluruh penjuru (Nilarudra Upanisad I.9). Dan masih banyak lagi dewa-dewi  dalam Veda di Antaranya: Varuna, Asvin, Usas, Indra, Vayu, Soma, Visvakarma, Yama, Rudra, Sarasvati, Brahma, Visnu, Siva, Parvati, Durga, Ganesa, Sri Laksmi. Dengan uraian-uraian tersebut diatas, maka jelaslah bahwa corak ke Tuhanan Hinduisme adalah polytheisme yang infinitive (tidak terbatas) di dalam mana dewa-dewa digambarkan secara fantastis dalam bentuk manusia biasa atau pun luar biasa, yang dipatungkan.

Sutra-sutra
Sutra yang artinya petunjuk. Kitab Sutra sebagai tafsir dari kitab Brahmana yang terdiri dari 2 macam kitab sebagai berikut :
o  Srautra Sutra: berisi petunjuk-petunjuk upacara-upacara/ kurban-kurban yang wajib dikerjakan oleh raja-raja yang dibagi menjadi 3 macam :
·      Raja Surya yaitu upacara dalam pelantikan raja naik tahta.
·      Aswameda ialah kurban kuda yang harus dilakukan sekali setahun, sebagai tanda kebesaran raja (sabagai maha raja).
·      Purushameda yaitu kurban manusia yang diberikan oleh raja (yang kemudian dihapuskan).
o  Gerha-Sutra : ialah tata cara/kurban untuk setiap kepala keluarga yang terdiri dari:
·      Nitya yaitu kurban wajib diakukan setiap hari oleh kepala keluarga terhadap roh-roh nenek moyang (pitara).
·      Naimittika ialah kurban yang hanya dilakukan sekali seumur hidup. Kurban yang demikian ini ada hubungannya dengan periode hidup manusia (samskara) misalnya pada saat kelahiran, pemberian nama, makan nasi pertama, memotong rambut pertama dan sebagainya.
·      Upanayana ialah upacara memasuki kasta dengan pemberian Upavita (tali kasta) pada umur 8-12 tahun, setelah itu datanglah upacara perkawinan dan sebagai penutup upacara ialah upacara kematian yang berupa pembakaran mayat. 
  
c.    Zaman Upanishad
Istilah Upanishad sendiri berasal dari kata upa, ni dan shad= upani: dekat, di dekatnya dan shad= duduk. Jadi Upanishad berarti duduk dekat, yaitu duduk di dekat seorang guru untuk menerima ajaran dan pengetahuan yang lebih tinggi. Istilah ini selanjutnya menjadi nama agama. Kitab Upanishad berbentuk dialog antara seorang guru dan muridnya, atau antara seorang Brahmana dengan Brahmana lainnya. Kitab Upanishad adalah salah satu bagian saja dari kitab-kitab Aranyaka, yang isinya menekankan pada ajaran rahasia yang bersifat mistik atau magis.
Kegiatan keagamaan di jaman Upanisad lebih ditekankan kepada ajaran filsafat tentang Brahman dan segala ciptaan-Nya. Pandangan yang menonjol di dalam kitab-kitab Upanisad itu adalah ajaran yang monistis dan absolut, artinya ajaran yang mengajarkan bahwa segala sesuatu yang bermacam-macam ini dialirkan dari satu asas, satu Realitas yang tertinggi.  Lima pokok ajaran pada zaman Upanishad:    

Brahman
Ada perbedaan yang sangat mendasar antara pengertian Brahman dalam Upanishad dengan pengertian kata tersebut dalam agama Brahmana. Mula-mula Brahman berarti do’a dan kemudian kekuatan goib yang terkandung dalam do’a. Brahman adalah sumber alam semesta. Brahman adalah pencipta, yang menjadikan alam semesta ini. Brahman yang transcendent (Nirguna Brahman) yang berada di luar alam semesta dan jauh di atas alam semesta itu, adalah juga Brahman yang immanent (Saguna Brahman) yang berada di alam semesta dan di dalam diri manusia yang disebut Atman.

Atman
Atman adalah jiwa individu. Dan Brahman adalah jiwa yang universal. Atman bukan jasmani, bukan indrawi, bukan kehidupan, bukan pikiran. Atman adalah jiwa, hakekat terdalam dari jiwa individu itu sendiri. Karena itu Upanisad mengajarkan: Tat twam asi yang berarti: Itu (Brahman) adalah kamu (atman). Oleh karena atman setiap orang adalah sama-sama merupakan percikan-percikan kecil dari Brahman, maka tat twam asi dapat diartikan: saya adalah kamu.              

Karma
Upanisad mengajarkan bahwa segala sesuatu tunduk dan takluk terhadap karma, baik manusia, binatang maupun tumbuh-tumbuhan. Karma meliputi kehidupan dahulu, sekarang dan yang akan datang. Karma berarti kehidupan atau perbuatan berikutnya sebagai akibat  dari perbuatan sebelumnya. Hubungan antara ajaran karma dengan ajaran tentang penjelmaan atau perpindahan jiwa merupakan hal yang penting dalam ajaran Upanisad. Vamedawa telah mengembangkan ajaran ini. Manusia harus menanggung akibat perbuatan atau karmanya. Setelah ia mati pengetahuan dan amal perbuatannya akan membimbing dia.

Reinkarnasi
Reinkarnasi adalah kelahiran kembali. Reinkarnasi adalah perputaran kalahiran kembali. Hanya manusia yang telah  mencapai atman yang mulia dan yang tahu akan maya saja yang dapat mengatasi hukum karma dan mencapai moksa.

Moksa
Moksa adalah pencerahan dan keterlepasan dari keterbatasan. Moksa yaitu kelepasan, dan sadar bahwa segala sesuatu adalah satu. Ia akan mencapai kesatuan dengan Brahman, dan berhak disebut sebagai jiwanmukta.

Perkembangan Agama Hindu Setelah Zaman Agama Buddha
Pada abad kelima sebelum masehi, agama Buddha muncul dan berkembang dengan pesat. Dan pada abad ketiga sebelum masehi, agama Buddha berhasil menjadi agama negeri India dan bahkan menjadi agama dunia karena pengaruhnya saat itu mencapai hingga jauh di luar India. Hal ini membuat agama Hindu terdesak, namun tidak sampai membuatnya lenyap. Secara diam-diam dan perlahan agama Hindu mengembangkan diri dan terus berkembang dengan cara menyesuaikan diri pada sesuatu yang dijumpainya.
Bentuk terakhir agama hindu setelah zaman agama Buddha mewujudkan suatu campuran yang terdiri dari bermacam-macam unsur keagamaan. Bentuk ini terutama dipengaruhi oleh keyakinan-keyakinan bangsa Dravida.

Sumber Keagamaan
Sumber keagamaan zaman ini terdapat dalam kitab-kitab Purana, Wiracarita, dan Bhagawadgita.
Kitab Purana
Kitab-kitab Purana (cerita kuno) berisi ikhtisar dongeng-dongeng dan petunjuk-petunjuk keagamaan. Isi kitab ini mengandung maksud menyiarkan pengetahuan keagamaan dan membangkitkan rasa pemujaan yang mendalam di kalangan rakyat, dengan perantara mite-mite, cerita-cerita, dongeng-dongeng, dan pencatatan sejarah kebangsaan yang besar. Ada lima hal yang umumnya dibicarakan dalam kitab ini, yaitu:
Sarga atau penciptaan alam semesta, Pratisarga atau peleburan alam semesta dan penciptaannya kembali, Zaman-zaman pemerintahan Manu (Manwantara), Wamsa atau silsilah kuno, Sejarah keturunan raja-raja kuno (Wamsanucharita). Selain mengajarkan tentang proses penciptaan alam semesta, peleburan, dan penciptaannya kembali, kitab Purana juga mengajarkan tiga dewa terpenting dalam agama hindu, yakni:
·      Brahma, dewa ini digambarkan memiliki empat kepala dan dipandang sebagai pencipta dunia.
·      Wisnu, dewa ini digambarkan memiliki empat tangan berwarna hitam yang masing-masing memegang kulit kerang, cakra, gada, dan bunga teratai sekaligus mengendarai seekor burung garuda. Dewa Wisnu dipandang sebagai pemelihara alam semesta, sehingga sering meninggalkan surganya untuk membinasakan kejahatan dan meneguhkan kebajikan dengan cara ‘menitis’. Dewa Wisnu disinyalir pernah menitis sebagai Rama yang membinasakan Rawana dan sebagai Kresna yang membinasakan Kaurowa.
·      Siwa, dewa ini digambarkan sebagai mata-mata yang selalu hadir di tempat-tempat yang mengerikan, misalnya di medan pertempuran dan tempat pembakaran mayat.Ia mengenakan kalung dari tengkorak dan senantiasa dikelilingi roh-roh jahat. Selain dipandang sebagai perusak alam semesta, namun dewa ini digambarkan sebagai pertama yang ulung, dan disembah sebagai tuhan tari-tarian (Nataraja), serta disembah sebagai Guru.
Ketiga dewa tersebut disembah sebagai Trimurti yang baru dikenal umum pada sekitar abad ke-5.

Kitab Wiracarita
Kepustakaan yang terkandung dalam kitab ini hanya ada dua, yakni Ramayana dan Mahabharata yang merupakan dua buah syair kepahlawanan. Keduanya berisi cerita tentang perbuatan-perbuatan mulia yang dilakukan oleh pahlawan-pahlawan kebangsaan yang besar. Cerita ini bermaksud menggambarkan cara menerapkan hukum-hukum Smrti pada keadaan yang konkret di dalam kehidupan nyata.
Ramayana, syair ini ditulis oleh Walmiki. Isinya menceritakan tentang Rama, putra raja di Ayodya, yang bersedia dibuang selama 14 tahun demi kepentingan adiknya. Dalam pengembaraan, istrinya –Sita- diculik oleh Rawana, raja di Langka, namun akhirnya dapat direbut kembali melalui perantaraan balatentara kera.
Mahabharata, bagian pertama kitab ini ditulis oleh Wyasa. Kitab ini berisi cerita tentang peperangan besar untuk memperebutkan negara Hastina antara Kaurawa dan Pandawa, keturunan Dhrtarasta dan Pandu, anak Wyasa. Dan berkat pertolongan Kresna, Pandawalah yang menang dan mewarisi Hastina.

Kitab Bhagawadgita
Bhagawadgita berarti nyanyian Tuhan, dan kitab ini berupaya mewujudkan salah satu bagian Mahabharata. Isi pokok kitab ini membicarakan tentang pebincangan anatara Kresna dengan Arjuna pada awal perang Bharatayuddha.
Pokok ajaran yang terkandung dalam kitab ini ialah mengenai ‘jalan kelepasan’. Baik benda/prakrti maupun jiwa/purusa berasal dari Tuhan. Jiwa terpenjara dalam tubuh sehingga dipengaruhi berbagai macam perbuatan benda. Tugas manusia ialah berusaha agar jiwa dapat ‘lepas’ dan kembali kepada asalnya, yaitu Tuhan. Ada tiga jalan kelepasan yang diajarkan, yakni:
1.    Jnana-marga, yaitu jalan kelepasan melalui pengetahuan akan kebenaran yang tertinggi.
2.    Bakti-marga, yaitu jalan kelepasan melalui kasih dan pemujaan kepada purusa yang tertinggi.
3.    Karma-marga, yaitu jalan kelepasan dengan menaklukan kehendak sendiri kepada tujuan Tuhan.
Ketiga jalan kelepasan ini sama-sama menuju satu tujuan, yaitu kelepasan. Kelepasan terdiri dari persekutuan jiwa dengan Jiwa Yang Tertinggi, yaitu menyaksikan, mengalami, dan menghayati hidup ilahi. Persekutuan ini disebut berada di dalam Brahman, tak bersaksi, dan sebagainya.

Kitab Agama
Kitab-kitab agama adalah kitab-kitab yang menguraikan tentang dewa-dewa dan bagaimana cara memuja serta menyembahnya. Kitab ini juga disebut sebagai kitab Tantra. Istilah tantra sendiri berarti apa yang menjadikan pengetahuan yang disebarkan. Penulis kitab ini tidak dikenal. Kitab Agama ini mengandung pokok ajaran yang membicarakan lima hal, yakni penciptaan alam semesta, peleburan alam semesta, penyembahan dewa-dewa, jalan mencapai kesaktian, dan persekutuan dengan zat yang tertinggi.

Aliran keagamaan
Pada zaman sesudah agama Buddha, dengan bersumber kepada kitab-kitab yang bermacam-macam muncullah beberapa aliran/mazhab yang menurut pokok ajarannya dapat dibedakan menjadi:
1.    Mazhab Wisnu, pada umumnya, yang disembah oleh pengikut mazhab ini ialah dewa Wisnu, atau istrinya, atau juga salah satu di antaranya. Pengikut mazhab Wisnu ini memberikan tanda kasta pada dahi mereka, yaitu tiga garis tegak lurus yang dibuat dari abu. Ajaran mazhab ini lebih condong kepada bakti (penyerahan diri), bukan pada Jnana atau pengetahuan. Sehingga mereka lebih menghargai hidup yang dianggap sebagai sesuatu yang suci dan patut dinikmati.
2.    Mazhab Siwa, para pengikut mazhab ini menyembah dewa Siwa yang biasanya disandingkan dengan permaisurinya, yakni Parwati. Dewa Siwa dianggap sebagai dewa bagi kelahiran kembali. Bentuk yang paling terkenal untuk menyembah Siwa dalam fungsi ini ialah Lingga, simbol yang berbentuk kelamin laki-laki. Lingga ini ditempatkan di kuil-kuil untuk disembah. Pokok ajaran mazhab ini memandang bahwa Jnana/ pengetahuan adalah jalan kelepasan yang lebih pasti daripada bakti. Sekalipun bakti juga mempengaruhi mazhab ini.
3.    Mazhab Sakta, yang disebut sakta ialah penyembah sakti, yaitu tenaga ilahi Tuhan. Sakti biasanya diwujudkan dalam satu perwujudan, misalnya sebagai Kali, Durga, Tara, Kamala, dan sebagainya. Sakti juga memiliki banyak aspek, namun dua yang paling penting diantaranya ialah sebagai ibu-ilahi dan sebagai dewi yang mengerikan.

Selain ketiga aliran keagamaan di atas, masih ada sebuah bentuk kepercayaan (agama) yang saat itu berkembang di tengah-tengah masyarakat. Aliran keagamaan tersebut dikenal sebagai Agama Rakyat. Agama rakyat ialah suatu campuran antara animisme dengan segala sistem keagamaan yang ada. Selain menyembah roh nenek moyang dan roh lainnya, rakyat juga menyembah segala macam dewa yang ada, binatang yang dijadikan kendaraan dewa, maupun binatang dan tumbuhan suci lainnya.
1.    Pemujaan dewa sehari-hari. Ada tiga macam dewa yang biasanya disembah, yaitu Gramadewata (dewa desa/kota), Kuladewata (dewa keluarga), dan Istadewata (dewa perorangan). Pemujaan dewa yang pertama dilakukan dikuil desa atau kota, dan dewa kedua biasanya dipuja di tempat suci yang disediakan khusus dihalaman rumah atau paling tidak dengan memiliki patung dewa tersebut yang disimpan di dalam peti dan nanti dikeluarkan jika akan disembah, sedangkan dewa ketiga biasanya ditemaptkan di kamar pribadi atau di dalam peti kecil yang dapat dibawa kemana-mana.
2.    Pemujaan pada binatang. Sejak zaman dulu, penganut Hindu sering menyendiri ke hutan guna bersemedi, ini membuat mereka dekat dengan penghuni hutan dan binatang-binatang serta menghargai keberadaannya. Dalam kesusastraan India binatang-binatang memiliki peranan penting, terutama pada zaman Ramayana yang disitu dianggap sebagai titisan dewa-dewa. Ada beberapa binatang yang dipuja oleh mereka, diantaranya kera yang dianggap sebagai titisan dewa dan makhluk sorgawi yang setia membantu Rama, ular yang menjadi raja ular berkepala seribu merupakan ranjang Wisnu dan Siwa pun menjadikan ular sebagai perhiasan untuk menghias dirinya, dan beberapa binatang dianggap sebagai kendaraan para dewa, seperti lembu jantan yang dianggap sebagai kendaraan Siwa, garuda sebagai kendaraan Wisnu, merak sebagai kendaraan Dewi Saraswati, angsa sebagai kendaraan Brahma, tikus sebagai kendaraan Ganesa, singa sebagai kendaraan Durga, kerbau sebagai kendaraan Yama, gajah sebagai kendaraan Indra, dll.
3.    Pemujaan pada tumbuh-tumbuhan. Contoh tumbuhan yang dipuja seperti pohon tulis (semacam teratai) yang dianggap sebagai titisan Laksmi, pohon bayan (sejenis ara), dll.
4.    Pemujaan kepada roh jahat. Selain dewa, penganut hindu juga menyembah dan memuja roh-roh jahat, seperti raksasa dan asura yang dipandang suka membinasakan dan suka meminum darah manusia, dan roh orang mati.
5.    Tempat ziarah. Bagi penganut hindu, berziarah ke tempat-tempat suci merupakan perbuatan yang membawa pahala besar. Beberapa kota yang dianggap suci diantaranya Benares, Mathura, Orissa, dan yang lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar